Tertuanglah garam di cawan-cawan.
Sejak pantai ringsut dipercakapan orang-orang berdasi.
Beton melaut, ikan-ikan mati.
Kata-kata berubah telaga, manusia berbatas akta.
Anak-anak muda memarkir mimpi dan elan.
Memintal amuk atas nama lapar yang sungkan.
Perih sungguh sengit membabat akal.
Tiap limbik di kepala serupa mesin-mesin hitung yang nakal.
Di negeri asing, mereka bermandi terigu.
Mengumbar senyuman beraroma mentega.
Di negeri ini orang-orang bermimpi nasi
Menanak periuk berharap gizi.
Cukuplah menanam tubuh dan isyarat.
Kertas-kertas telah penuh tanggal dan rencana.
Di panggung ibu kota penuh lakon dan wewajah.
Pangling sebab topeng menutup muka.
Kepada hukum yang marasmus dan pemuda yang sekarat.
Kemiskinan adalah tokoh antagonis yang menawan.
Kibarkan saja bendera lalu berpura-pura lupa
Sebab bangsa kita sungguh pemaaf yang buta.
Kebencian adalah rindu yang tertunda.
Maklumat kepedihan sebab berjarak kenyataan.
Apa lacur, malu terkubur
Banci peradaban naik tahta dan
Kita tertawa sungguh terluka.
Makassar, 14 Maret 2018